Bos saya, Pemimpin Redaksi Abadi Suardi Tasrif dengan redakturnya Mara Karma juga sudah di Padang Kolonel M.
Simbolon datang dari Medan dan Kolonel Barlian dari Palembang.
Kota Padang tambah ramai atas kehadiran para pemimpin tersebut.
Cukup meyakinkan saya, Sumatra benar-benar akan pisah dari negara kesatuan.
Belakangan saya tahu Tasrif dan Mara Karma kembali ke Jakarta karena tidak bisa pisah dengan keluarga.
Juga Letkol Barlian ke Palembang tak jadi ikut memberontak.
Sementara itu, atas kebijaksanaan beberapa tokoh Masyumi yang masih ada di Jakarta, kedudukan Tasrif di harian Abadi diganti Sidi Mohammad Sjaaf.
Bersama kami bergabung beberapa wartawan asal Indonesia Raya, seperti Ali Muchtar Hutasuhut, Dja'far Husin Assegaf.
Kemudian masuk Misbach Yusa Biran, terkenal dengan karya tulis Ardjawi, tingkah- kurenah orang desa bila ke kota.
Karya dramanya Bung Besar memenangkan hadiah nasional, tetapi kemudian Misbach Dergerak di dunia perfilman.
Toeti Alawiyah (belakangan jadi ektor Universitas Assyafiyah lalu Menteri Negara Urusan eranan Wanita) bersama Taslim, mengasuh rubrik remaja.
Penulis tetap di antaranya Jusuf Abdullah Puar dan Oesman Raliby 123 Perniäahan Kam, Suka Duka, dan Anak-anak akumbuh, dengan bantuan bidan Zahara.
Mereka sebenarmya tak mempuryai hubungan famili langsung dengan kami, tapi semata-mata kekerabatan kental saja.
Membantu sukarela, Kota walaupun menghadang risiko.
Kelahiran anak pertama itu, masih dapat saya ketahui.
Hanya satu keinginan saya: memberi namanya.
Ida dan orang tuanya belum memberi nama dan tampaknya menantikan nama dari sang bapak Suatu hari saya bersama Ajo Syaaf dan Bahrum Rangkut jalan-jalan menghirup udara sore Jakarta.
Kami bertiga naik Austin stasion milik Abadi Saya beri tahu kelahiran anak saya.
Bung Bahrum pengagum sastrawan besar Mohammad Iqbal (1873-1938) dari Pakistan waktu itu berpangkat Lak- samana Muda (tituler) Angkatan Laut jadi Sekretaris Jenderal Departemen Agama.
Iqbal adalah filosof besar, dan negarawan terkemuka.
Dialah pemrakarsa berdirinya negara Pakistan, berpisah dengan India.
Kepada Bung Bahrum saya minta memberi nama anak saya tersebut.
Katanya, nama seorang penyair putri India.
Karena tidak mau nama panjang-panjang saya putuskan cukup Mira saja.
Bung Bahrum pun setuju.
Langsung saya iklankan di surat kabar Abadi DISANDERA APRI IDA sama Mira, dan uminya disandera APRI di sebuah rumah di Pasar Lawang.
Tidak boleh menghuni rumahnya sendiri dekat Masjid Bangsa.
Hal ini guna mencegah bapaknya Datuk jo Mangkuto pulang malam-malam hari menemui keluarga Beliau berada di Baringin yang dikuasai pemberontak, lebilh lima kilometer dari Lawang.
Di saat disandera itulah saya kirimkan nama tersebut dan sampai kini melekat pada- rya, plus nama panggilan saya di belakangnya sehingga kurang Pernikahan Kami, Suka Duka, dan Anak anak Anak kelima pun laki-laki,Yudha.
Lahir di RS Sint Carolus, 13 April 1965.
Simbolon datang dari Medan dan Kolonel Barlian dari Palembang.
Kota Padang tambah ramai atas kehadiran para pemimpin tersebut.
Cukup meyakinkan saya, Sumatra benar-benar akan pisah dari negara kesatuan.
Belakangan saya tahu Tasrif dan Mara Karma kembali ke Jakarta karena tidak bisa pisah dengan keluarga.
Juga Letkol Barlian ke Palembang tak jadi ikut memberontak.
Sementara itu, atas kebijaksanaan beberapa tokoh Masyumi yang masih ada di Jakarta, kedudukan Tasrif di harian Abadi diganti Sidi Mohammad Sjaaf.
Bersama kami bergabung beberapa wartawan asal Indonesia Raya, seperti Ali Muchtar Hutasuhut, Dja'far Husin Assegaf.
Kemudian masuk Misbach Yusa Biran, terkenal dengan karya tulis Ardjawi, tingkah- kurenah orang desa bila ke kota.
Karya dramanya Bung Besar memenangkan hadiah nasional, tetapi kemudian Misbach Dergerak di dunia perfilman.
Toeti Alawiyah (belakangan jadi ektor Universitas Assyafiyah lalu Menteri Negara Urusan eranan Wanita) bersama Taslim, mengasuh rubrik remaja.
Penulis tetap di antaranya Jusuf Abdullah Puar dan Oesman Raliby 123 Perniäahan Kam, Suka Duka, dan Anak-anak akumbuh, dengan bantuan bidan Zahara.
Membantu sukarela, Kota walaupun menghadang risiko
Ida berada di Pay sova ini ikut bapaknya pegawai Jawatan Sosial Kabupaten 50 Akibat situasi makin gawat, bayi merah yang baru berusia tiga hari itu, malam hari dilarikan ke Lawang dijemput Sulthain Khatib Batuah dan Zakir.Mereka sebenarmya tak mempuryai hubungan famili langsung dengan kami, tapi semata-mata kekerabatan kental saja.
Membantu sukarela, Kota walaupun menghadang risiko.
Kelahiran anak pertama itu, masih dapat saya ketahui.
Hanya satu keinginan saya: memberi namanya.
Ida dan orang tuanya belum memberi nama dan tampaknya menantikan nama dari sang bapak Suatu hari saya bersama Ajo Syaaf dan Bahrum Rangkut jalan-jalan menghirup udara sore Jakarta.
Kami bertiga naik Austin stasion milik Abadi Saya beri tahu kelahiran anak saya.
Bung Bahrum pengagum sastrawan besar Mohammad Iqbal (1873-1938) dari Pakistan waktu itu berpangkat Lak- samana Muda (tituler) Angkatan Laut jadi Sekretaris Jenderal Departemen Agama.
Iqbal adalah filosof besar, dan negarawan terkemuka.
Dialah pemrakarsa berdirinya negara Pakistan, berpisah dengan India.
Kepada Bung Bahrum saya minta memberi nama anak saya tersebut.
Setelah diusulkannya beberapa calon, akhirmya dia pilih Mira Baj
Setelah diusulkannya beberapa calon, akhirmya dia pilih Mira Baj.Katanya, nama seorang penyair putri India.
Karena tidak mau nama panjang-panjang saya putuskan cukup Mira saja.
Bung Bahrum pun setuju.
Langsung saya iklankan di surat kabar Abadi DISANDERA APRI IDA sama Mira, dan uminya disandera APRI di sebuah rumah di Pasar Lawang.
Tidak boleh menghuni rumahnya sendiri dekat Masjid Bangsa.
Hal ini guna mencegah bapaknya Datuk jo Mangkuto pulang malam-malam hari menemui keluarga Beliau berada di Baringin yang dikuasai pemberontak, lebilh lima kilometer dari Lawang.
Di saat disandera itulah saya kirimkan nama tersebut dan sampai kini melekat pada- rya, plus nama panggilan saya di belakangnya sehingga kurang Pernikahan Kami, Suka Duka, dan Anak anak Anak kelima pun laki-laki,Yudha.
Lahir di RS Sint Carolus, 13 April 1965.